h

Senin, 28 November 2011

54. Buka Pintu langit


Kamaruz berkata pada Banta: ''Ingin rasanya pintu langit terbuka dan Tuhan datang memberitahukan sendiri hukum dari suatu perkara agama yang membingungkan.''
      Banta serius menanggapi ekspresi Kamaruz yang serius. Dia berucap: ''Al-Qur'an dan Sunnah cukuplah menjadi pemberi jawaban yang paling sempurna untuk semua masa dan suasana. Persoalannya Tinggal bagaimana agar kita melihat pedoman itu sesuai dengan yang pedoman itu maksudkan. Bukan dengan keinginan kita, tidak mencari-cari aspek-aspek yang mendukung keinginan kita dan tidak pura-pura tidak paham. Itu saja.''
   

53. Kelahiran dan Kematian Sebuah Kota


Pulang dari pasar Jungka Gajah, Kamaruz mengeluhkan pasar itu yang semakin sepi. Dalam pembicaraan ringan itu, Banta angkat bicara:
        Semua kota berangkatnya dari sebuah pasar yang kecil. Sebuah pasar berangkat dari beberapa warung kecil saja. Pasar menjadi semakin besar karena alasan utama posisinya strategis dan daya beli masyarakatnya mumpuni. Strategis biasanya karena terletak di persimpangan jalan yang dibangun banyak rumah.
      Lihatlah kota Makkah sebelum kelahiran Nabi Besara adalah tempat transit kapal-kapal dari teluk Yaman menuju Syiria. Sebelum itu dermaga-dermaga di teluk Persia menjadi tempat persinggahan kapal-kapal yang membawa rempah-rempah, ternak dan lainnya. Namun seiring semakin tidak amannya Persia akibat seringnya berkcecambuk perang antara Persia dengan Romawi, maka Mekkah menjadi alternatif.
         Kondisi demikian membuat masyarakat Madinah menjadi heterogen. Ini adalah bagian dari rencana Allah supaya Nabi Besar dapat tumbuh dalam masyarakat yang plural sehingga Beliau dapat mempelajari masyarakat yang majemuk dan dinamis.
     Waktu kecil Nabi mengembala domba. Sebenarnya ini untuk mendidik Yang Mulia mengelola hatinya, pikirannya dan yang paling penting, adalah latihan bagi Beliau untuk dapat ''mengembala'' manusia. Banyak nabi sebelum Beliau juga mengembala domba sebelum menjadi Rasul, tujuannya sama.
       Kembali ke persoalan kita, Kamaruz. Tahukah kamu bahwa di tempat yang sedang kita pijak ini dulunya adalah pusat sebuah kerajaan yang lumayan besar?''
    Kamaruz terkejut, setengah tidak percaya. Banta melanjutkan:
      Demikianlah sebuah kota dapat musnah dalam sekejap. Bila proses pembangunannya memakan waktu yang sangat lama, maka kehancurannya cuma butuh waktu sekejap saja.
    Tidak perlu kamu analogikan dengan datangnya banjir besar atau angin puting beliung. Konflik beberapa tahun lalu saja membuat banyak kota kecil musnah hingga kini. Dan tahukah kamu bahwa konflik kemarin itu belum ada apa-apanya dibandingkan sejarah Aceh yang selalu dirundung perang.
    Kamaruz mulai mengerti. Di pikirannya terlintas beberapa perang besar yang pernah tejadi di Aceh dalam beberapa kurun sejarah. Saat sendiri, dia berkata pada dirinya sendiri.
 ''Sebelum Perang Aceh, rakyat Aceh ada sembilan juta orang. Setelah perang tinggal tiga juta. Tanpa perlu banyak penjelasan, pastilah Meudang Ara ini dulunya adalah begian dari tempat yang ramai dan bahkan sebuah kota besar.''
    Tidak hanya Meudang Ara, banyak kawasan pedalaman Aceh yang kini menjadi hutan dulunya adalah kawasan perkotaan dan pemukiman padat.

52. Antara Ingin dan Harus


Setelah duduk, merenung, terlintas sesuatu dari dalam pikirannya yang disebut intuisi, lalu dicoba rangkai dan susun dalam bentuk kalimat. Setelah kalimat itu dianggapnya selesai disusun, Kamaruz berlari mencari Banta. Dia menghampirinya yang sedang asing mencangkul di pagar bagian belakang meunasah dan langsung melemparkan kalimat yang telah dirangkainya tadi
    ''Berbicara 'hendak', memang sangat banyak yang hendak dilakukan. Tapi ketika 'hendak' itu berhadapan dengan 'harus' maka hendak akan buyar, seperti gas yang beterbangan ditelan oksigen.''
         Memahami maksud dan muasal sebab kalimat Kamaruz itu, banta menandangnya, melemparkan sebuah senyum yang selalu membuatnya enggan kembali ke kota dan ke kampusnya. Senyum itulah yang membuatnya bertekat bersama Banta selamanya. Lalu Banta berkata:
        Kadang sangat banyak yang ingin kita tulis. Tapi mengingat ada hal yang harus kita tulis yang akan berguna menyelamatkan orang banyak, tulisan yang diinginkan itu terpaksa diurungkan hingga gagasannya hilang selama-lamanya.
        Sangat banyak pula yang ingin kita beli, ingin kita miliki, tapi keinginan itu wajib dan harus diurungkan karena ada sesuatu yang menjadi kebutuhan dan itu sifatnya 'harus'.
      Tapia masyarakat kita sekarang tidak panda membedakan mana yang harus dan mana yang ingin. Mereka tidak mampu membedakan antara keinginan dan kebutuhan sehingga menjadi manusia konsumtif yang luar biasa gila.
     Secara militer kita telah merdeka sejak '45, tapi secara politik, ekonomi dan lainnya kita masih dijajah. Lihatlah para mulai dari konglomerat, birokrat, pegawai, pedagang, buruh, hingga petani mereka wajib mengeluarkan setengah penghasilannya setiap bulan untuk membayar cicilan kendaraan, alat elektronik dan lainnya. Sistem penjajahan sebelum '45 juga begitu, setengah hasil panen dipungut buat penjajah.
         Orang asing sangat pandai mensituasikan supaya produk mereka laku keras di negeri kita. Pemangku kebijakan sebisa mungkin menekan potensi dan produksi lokal. Kalau ada orang cerdan dan produktif, jangankan difasilitasi, malah bakatnya dibunuh supaya produksi dalam negeri tidak ada. Dengan itu kita harus terus membeli barang produksi orang.
         Kita telah melahirkan semilyar sarjana teknik, tapi Indonesia punya pabruk sepeda motor berapa? Pengguna sepeda motor di Indonesia berapa?
          Kondisi ekonomi masyarakat indooonesia diatur sedemikian rupa supaya kita dapat membeli produk-produk, yang bila sejenak saja kita mau merenung, kita tidak membutuhkannya.