h

Kamis, 13 Desember 2012

Aceh dan Sejarahnya

"Saya ingin berbicara tentang penghuni pulau Sumatra khususnya Provinsi Aceh. Untuk mengawali pengkajian siapa dan dari mana orang Aceh itu terlebih dahulu ingin mengenang apa yang masih saya ingat dari bab awal buku 'Aceh Sepanjang Abad'. Dalam buku itu dikatakan Mohammad Said melayu tua datang terlebih dahulu ke pulau Sumatra dan bermukim. Mereka menetap di daerah daerah pinggiran sungai.

“Karena bayak sungai-sungai di Aceh maka banyak pula mukim-mukim di sana. Kemukiman-kemukiman itu semakin berkembang seiring pertumbuhan populasi. Bahkan, tidak mustahil ada beberapa mukim yang menyatu dengan mukim lain. Ketika penyatuan ini tejadi, maka berselisihlah para petingginya untuk menentukan siapa yang layak menjadi penguasa mukim yang besar itu.

"Kemunculan melayu muda secara bertahap mengusir melayu tua. Hingga kini terlihat melayu tua menetap di pedalaman hingga pesisir selatan Sumatra. Lihatlah Melayu Deli di Sumatera Utara yang memetap di pesisir dan Batak dari pedalaman hingga pesisir selatan bahkan pulau Nias. Di kawasan selatan sumatra tampaknya orang Minang lebih dahulu menetap daripada melayu Palembang. Demikanlah sumatra. Bagian utara dihuni melayu muda, pedalaman dan pantai selatan bermukim melayu tua.

"Karena kawasan pantai utara Aceh sangat strategis bagi pelayaran internasional, produktifitas pertanian juga sangat luar biasa. Sebab, hasil pertanian bernilai tinggi karena laris terjual ke mancanegara. Karena banyak berinteraksi dengan berbagai suku dan golongan melayu (muda) masyarakat Aceh menjadi inklusif.

"Kekuasaan selalu hal yang problematis di sini. Alasannya sudah jelas: Pajak dari darat dan laut. Dari kawasan Timur-tengah banyak kalangan sufi yang memilih menetap di Aceh karena beberapa alasan terutama karena mereka adalah kelompok yang tersisihkan dari pertarungan politik dan mazhab. Saya menduga berdirinya kerajaan Islam Peureulak tidak lepas dari pengaruh kelompok sufi ini. Disamping itu ada pula sumber masyarakat yang menyebutkan Islam di Peureulak dibawa oleh Salman Al-Farisi langsung atas perintah Rasulullah Saw.

"Kawasan mulai dari sungai Krung Jambo Aye hingga Birem atau Langsa (Samudra) dulunya banyak dihuni oleh Muslim bermazhab Syiah. Dikisahkan pula kerajaan Islam Peureulak juga bermazhab syiah. Karena itu masuk akal bila saya memprediksikan bahwa ramailah orang Persia melakukan asimilasi dengan orang melayu di Samudra. Namun setelah kerajaan Pasai menguasai Samudra mazhab syiah dihapuskan.

"Berbicara mengenai sejarah perkembangan mazhab syiah, meski bukan hak saya berbicara tentang itu, saya memberanikan diri mengatakan bahwa kelahiran syi'ah, hampir sama dengan sejarah berkembangnya Kristen, adalah atas konspirasi Yahudi. Adalah perkara yang sangat memalukan bila penganut agama mulia rela berpecah belah bahkan saling menumpahkan darah hanya karena hasrat menjadi penguasa. Kenapa mengedepankan ambisi kekuasaan daripada hubungan persaudaraan seiman.

"Sementara itu di kawasan lain antara Batee Iliek hingga Krueng Jambo Aye (Pase atau Pasai) masyarakatnya telah mengalami asimilasi dengan pendatang dari jazirah Arab, India Cina dan Eropa. Meskipun demikian, saya kira Persia telah terlebih dahulu melakukan asimilasi dengan masyarakat melayu setempat. Bahkan muncul dugaan asal kata 'pase' ('e' dibunyikan seperti 'mega', dari pengucapan 'farsi'. Padahal 'pase' itu diambil dari nama sungai di kawasan itu.
"Karena begitu majunya Pase maka masyarakat dari seluruh penjuru bumi ikut bermukim di sana. Seperti Jakarta saat ini yang dihuni berbagai suku dari seluruh nusantara.

"Bila sekarang anda menanyakan mana orang melayu di Pase sekarang, maka jawabannya persis seperti jawaban di mana orang Betawi di Jakarta sekarang.

"Di Aceh sekarang melayu muda yang masih otentik hanya dapat ditemukan di Tamiang. Meskipun dalam beberapa dekade ini telah banyak mengalami percampuran dengan transmigran suku Jawa. Pidie kuat dugaan saya adalah berasal dari bangsa benggali dari anak benua. Saya menyimpulkan ini berdasarkan postur tubuh, karakteristik dan makanan khas mereka. Gayo, Alas dan Singkel adalah melayu tua yang telah terlebih dahulu menjajaki pulau sumatra seperti yang telah saya uraikan sebelumnya. Di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya melayu tua telah menjadi minoritas karena migrasi besar-besaran orang Minang pada masa kerajaan Aceh Darussalam. Sementara Aceh Barat dan Nagan Raya telah didominasi percampuran seluruh Aceh utamanya Pidie. Aceh Besar dan Aceh Jaya juga telah sangat banyak berasimilasi dengan Pidie. Sebab itulah sekarang wajah orang Aceh asli, yaitu Aceh Besar, lebih mirip orang Pidie daripada orang Batak. Selaku bangsa yang paling agresif, Pidie telah melakukan asimilisi di seluruh Aceh.                                                                                                                                                        

           Berikut sebuah dialog imajiner sebagai lanjutan:

Penanya I: Benarkah Aceh diambil dari singkatan A:Arab; C:Cina; E:Eropa dan H: Hindia.
Banta: Aceh memang dihuni oleh masyarakat yang berketurunan Arab, Cina, Eropa dan Persia. Tapi itu akronim itu hanya mitos belaka. Hampir semua nama tempat di Aceh diambil dari nama pohon seperti Peureulak, Jeumpa, Keumala Bayu, Aron, Glumpang dan dari nama sungai seperti Peusangan, Peudaada, Woyla, Alas dan banyak lagi.

Ada juga mitos yang menyebutkan 'Aceh' diambil dari bahasa India. Ceritanya ada rombongan pertama dari India yang dalam perjalanan pulang dari Aceh menuju India berjumpa dengan rombongan yang belum sampai ke Aceh. Rombongan yang belum berangkat menanyakan tentang Aceh pada yang telah berangkat 'Kaisa ithar hai?'. Luar biasa jawab yang telah berangkat, 'Acha hai'. Kata 'Acha hai' inilah yang dikatakan secara perlahan pembunyiannya berubah menjadi 'aceh'. Sama seperti Pase, Aceh juga di Ambil dari nama sungai. Sungai ini mengalir dari pegunungan Bukit Barisan pedalaman Indrapuri hingga bermuara ke desa Kampung Jawa, Banda Aceh. Dulunya yang dikenal sebagai Aceh ya, kira-kira dari Lhloknga hingga Seulimum. Namun karena invasi besar-besaran kerajaan Aceh maka semua kerajaan dalam provinsi Aceh bahkan hingga Padang dan Pahang, Malaysia sekarang tunduk pada kerajaan ini dan mengakui diri sebagai bagian dari Aceh Darussalam.

"Saat ini ditetapkanlah provinsi yang berbatasan dengan Samudra Hindia dan Sumatra Utara dengan nama 'Aceh'. Sebelumnya pada awal kemerdekaan Indonesia seluruh sumatra dianggap Aceh dengan nama 'Aceh Sumatara'.

Penanya II: Kalau Pasai dan Pidie itu bukan Aceh, lantas kenapa mereka berbahasa Aceh?

 Banta: Saya tidak tahu awalnya orang Pidie menggunakan bahasa apa. Mungkin langsung meninggalkan bahasa asli mereka dan menggunakan bahasa Aceh sebab harus berbaur dengan orang Aceh sebagai penduduk asli. Mungkin pula sama seperti yang dilakukan orang Pase dan Samudra yaitu sebab terjadi 'Acehisasi' pasca ekspansi Kerajaan Aceh. Saya kira pemaksaan bahasa Aceh itu oleh Iskandarmuda yang sangat mencita-citakan Nasionalisme Aceh waktu itu.

Penanya III: Lantas bagaimana cara orang Samudra dan Pase atau juga Pidie mengganti bahasa mereka.

Banta: Perubahan penggunaan bahasa dalam suatu kelompok masyarakat sangat mudah. Persis seperti sekarang ini dimana anak muda di Aceh suka berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia padahal kedua orang tua mereka berbahasa Aceh. Ke depan anak-anak muda ini akan menggunakan bahasa Indonesia dengan pasangannya sebeb sejak awal telah membiasakan diri berbahasa Indonesia. Dapat dipastikan anak-anak mereka akan berbahasa Indonesia karena kedua orangtuanya berbahasa Indonesia. Jadi hanya butuh waktu dua generasi untuk mengganti bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat. Bukankah Ibrahim Alfian mengatakan bahasa melayu Pasai punya kontribusi substansial dalam menerapkan bahasa Indonesia. Jadi, pastinya Pasai  sebelumnya berbahasa melayu sebelum ekspansi Iskandar Muda.

Penanya IV: Lantas kenapa dialektika bahasa Aceh yang digunakan orang Peusangan dan Pase dianggap lebih baik, bukan Aceh (Besar) sendiri selaku "pemilik" bahasa.

Banta: Saya menduga standarisasi yang digunakan adalah tingkat kesantunan penggunaan kata dan intonasinya. Orang akan berbicara lebih santun dengan orang yang belum ia kenal atau orang asing. Jadi bahasa di mana yang lebih santun berarti di sana masyarakatnya lebih heterogen. Demikian saya kira.

Penanya V: Kenapa Aceh meski punya sejarah yang besar namun sangat sedikit meninggalkan fakta sejarah? Misalnya kerajaan Samudra Pase, meski punya latar belakang yang mengagumkan namun hanya meninggalkan 'Hikayat Raja-raja Pase dan batu nisan.

Banta: Pertama karena setiap penyerangan oleh kerajaan lain, kerajaan yang diserang selalu dibumi hanguskan. Dulunya Samudra Pase punya Istana dan gedung-gedung lain yang megah. Namun karena konstruksi semua gedung itu dari kayu, sebagaimana semua gedung milik kerajaan lain di seluruh Indonesia dulu, maka mudahlah dia dihancurkan dengan dibakar bila ada penyarangan dari kerajaan lain yang hendak menguasainya, mungkin juga lapuk akibat usia

Saya kira hal ini disadari sendiri oleh pelaku sejarah masa lalu hingga mereka membuat batu nisan dari batu dan lengkap mencantum tanggal lahir dan mangkat agar kelak anak cucu mereka dapat mengetahui bahwa mereka dulu ada. Hal ini berbeda dengan negeri yang tidak mampu menghasilkan kayu. Seperti Kerajaan di Jazirah Arab masa lalu, mereka harus mendirikan bangunan dari batu. Sebab itu mereka banyak meninggalkan jejak untuk anak cucu.

Ada yang unik dari arsitektur bangunan masa lalu. Arsitek masa lalu sangat pandai merancang bangunan yang ramah lingkungan. Lihatlah 'Rumah Aceh' , bagian tengahnya dibuat lebih tinggi dibanding kedua sisinya. Arsitektur demikian selain memberi nilai lebih pada estetiktur bangunan juga agar gajah-gajah dapat melintas dari bawah rumah tanpa hambatan. Rupanya gajah yang hidup berkelompok itu menempatkan yang besar-besar ukurannya ditengah-tengah saat berkonvoi.

Penanya VI : Bagaimana pendapat Profesor tentang membanjirnya penulisan novel sejarah semisal 'Gajah Mada' karya Langit Kresna Hariadi atau 'Samudra Pasai' karangan Putra Gara dan banyak lagi lainnya?

Banta : Semua kisah di masa lalu dianggap sebagai karya sastra. Sebab, oleh logika kontemporer isi dari cerita hikayat dan babat mengandung banyak tahayul. Misalnya, sejarah kerajaan Peureulak yang menyatakan putra Raja ditelah ikan dan 'Hikayat Raja-raja' Pasai' yang mengisahkan semut berukuran kucing. Peristiwa ganjil, seperti ikan dan kucing, dimaksud sebagai simbol dari sesuatu yang populer di tengah masyarakat itu. Semisal tikus untuk sebutan koruptor di negeri kita sekarang.

Penulis sejarah masa lalu tidak terikat dengan kaidah-kaidah penulisan tertentu yang sangat menghambat potensi dan kemungkinan pengungkapan suatu fakta sejarah. Berbeda dengan masa kita sekarang yang bahkan untuk menulis sebuah karya sastra semisal novel saja harus mengikuti peraturan-peraturan semisal setting, plot, dan syarat-syarat konyol lainnya. Sebab itu mereka yang ingin mengungkapkan fakta sejarah namun tidak mau terikat dengan aturan-aturan aneh kaidah penulisan karya ilmiah dan metodologi penelitian yang membingungkan memilih menuliskan sejarah dalam bentuk sastra.

Setahu saya penggagas sejarah sebagai bagian dari ilmu positif adalah Sir Muhammad Iqbal. Dia berharap kisah-kisah kisah masa lalu disampaikan secara objektif. Namun karena sifat ilmu harus ditampilkan dengan bukti-bukti empiris maka sulitlah menyajikan sejarah dengan indah dan detail. Misalnya untuk menginformasikan sejarah kerajaan Samudra Pasai secara menarik dan indah haruslah melibatkan banyak intuisi dan imajinasi. Sebab, kerajaan pesisir utara Aceh itu hanya menyisakan makam-makam raja dan ulama serta sebuah manuskrip berjudul 'Hikayat Raja-raja Pasai'.

Sastra memang merupakan pelarian yang sangat indah dari kekangan etika penulisan ilmiah. Friedrich Nietzshe mengawali penulisan filsafat dalam bentuk sastra. Cara ini diikuti banyak pemikir abad ke-20 seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Saya sarankan pada anda semua untuk tidak telalu terikat dengan aturan-aturan tertentu untuk menjadi seorang penulis berprestasi. Yang perlu anda lakukan hanya menulis dan menulis. Jangan pedulikan akan digolongkan kedalam kategori manakah tulisan anda. Tirulah semangat Kahlil Gibran. Kalau karya anda nantinya tidak dapat digolongkan kadalam jenis manapun biarlah ahli sastra dan ahli ilmu membuat kategori baru untuk karya hebat anda.

Penanya VII : Kenapa Pidie dan Aceh Besar bertikai sepanjang sejarah?

Banta : Menurut tinjauan sejarah, kerajaan Pedir adalah kerajaan yang paling membangkang terhadap kerajaan Aceh Darussalam. Pedir melakukan persekutuan dengan Portugis dengan mendirikan pusat komando dan pos militer Portugis di Pante Raja untuk menghalau serangan kerajaan Aceh Darussalam.
Ketika Pedir hendak melakukan perlawanan ke Aceh, pasukan kerajaan Linge yang loyal pada Aceh Darussalam menggagalkan usaha tersebut. Hingga kini persaingan antara orang Pidie Dengan Aceh Rayeuk masih terlihat jelas. Sulitnya orang Pidie memahami bahasa Aceh yang digunakan orang Aceh. Namun diharapkan persaingan ini menjadi persaingan sehat agar kedua belah pihak ini saling berusaha mensejahterakan Aceh secara keselurusan tanpa dibayang-bayangi sikap chauvanisme.
dari kekuatan dan pengaturan Allah SWT.